Motivasi & Inspirasi
CALM DOWN, BUKAN LOCKDOWN
Tanggal : Kamis, 30 September 2021 , 363
“Apakah mungkin pandemi ini yang akan membuat kita punah ya je?” tanya ayah saya di telpon 2 minggu lalu. Pertanyaan itu seperti petir yang menggetarkan pikiran saya, saya diam terhenung sejenak dan kemudian tertawa lirih merespon pertanyaannya.
Ayah saya memang paling pintar dalam mengajak saya berefleksi kembali dinamika kehidupan yang tampak di keseharian.
“Apa mungkin ya, spesies tertinggi dari satu ekosistem bisa punah gara-gara sebuah virus?” batin saya dalam hati. Nurani saya kemudian bereaksi secara spontan”Yaelah, pertanyaan lu uda kaya orang bener, kalo uda saaatnya yauda saatnya aje”….
Tidak bisa dipungkiri, pandemi Corona ini membuat orang menjadi panik. Kemudahan akses informasi yang tadinya membantu manusia malah berubah menjadi bumerang yang mengejar balik. Keengganan kita dalam memahami virus COVID-19, rendahnya kesadaran dalam mengubah gaya hidup dan rasa malas yang begitu tinggi dalam menyaring informasi bersatu menjadi sebuah rasa takut terhadap sesuatu yang pada dasarnya tidak kita tahu. Buktinya dimana-mana, muncul panic buying bahan dasar makanan yang merajalela, pembelian masker dalam jumlah luar biasa yang mengakibatkan langkanya persediaan APD untuk entitas yang lebih membutuhkan.
Semakin bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi di Indonesia, membuat isu Lokcdown yang sudah dijalankan negara lain menjadi semakin gencar diutarakan oleh penggiat isu sosial di dunia maya. Definisi lockdown sejauh pemahaman saya adalah penutupan akses yang dilakukan sangat ketat oleh satu daerah/negara untuk memperlambat laju penyebaran virus di daerah/negara tersebut. Isu ini tentunya membuat rasa khawatir pada masyarakat, bahkan untuk diri saya sendiri. Sejauh mana kita bisa bertahan dalam keadaan yang benar-benar akan terisolasi. Pengalaman Working From Home (WFH) yang sudah saya alami selama kurang lebih 2 minggu membuat saya bertanya-tanya dan bingung terhadap apa yang akan dihadapi ke depannya.
Kondisi terisolasi secara fisik dari dunia luar benar-benar menjadi ujian bagi semua orang yang menghadapinya. Keterbatasan menjalankan aktivitas sosial menjadi tantangan dasar bagi mahluk sosial seperti manusia, tidak heran banyak teman-teman saya mulai mengangkat kembali isu-isu kesehatan mental akhir-akhir ini. Kecemasan, ketakutan terhadap kondisi yang kadar uncertainty nya tinggi menimbulkan konsekuensi efek psikologis yang nyata.
Apa yang harus saya lakukan di kondisi ini?
Baru-baru ini saya membaca judul berita yang sangat menarik, tidak sempat membaca isinya, namun impresi saya terhadap tagline berita itu sangat kuat. Bunyinya kira-kira seperti ini: ”Sultan HB X: Corona bukan Gempa, Calm Down bukan Lockdown”. Judul tersebut membuat saya sedikit mengernyitkan dahi sejenak, bertanya dalam hati bagaimana mungkin ditengah kondisi seperti ini kita bisa tenang?
Lalu saya kembali merenungkan kalimat diatas.
Emang sebelum ada virus corona ini kita kurang calm down ya? Terbiasa seperti robot menjalankan aktivitas sehari-hari, riweh dengan konsumsi informasi dengan jumlahnya yang luar biasa, dan terlalu sibuk dengan dunia di luar diri kita. Apakah lockdown menjadi suatu fenomena yang mengajak kita untuk lebih meredakan diri kita?
Seperti kebanyakan manusia pada umumnya, saya terus mencari makna untuk kejadian yang nirmakna.
Kalau dipikir dengan kemampuan logika saya yang pas-pasan, ajakan untuk calm down sepertinya sangat sesuai untuk menjawab premis yang saya angkat di awal tulisan saya. Fenomena ketakutan yang terjadi seharusnya bisa membuat kita lebih mawas diri. Pemahaman mengenai calm down pun harus dicermati secara bijaksana. Calm down seperti apa yang dibutuhkan di kondisi saat ini?
Calm down yang dimaksudkan disini bukan tenang dalam artian tenang-tenang saja sehingga dapat terjebak dalam ilusi positivisme yang tidak berdasar. Namun lebih dari itu, kita boleh tenang namun kita juga melakukan bagian kita, mungkin dari hal yang sangat dasar misalnya dari mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain dan lebih dari itu, kejadian ini benar-benar memberikan kesempatan untuk bertemu dengan diri kita sendiri. Penelusuran pemahaman terkait calm down juga mengantar saya kepada satu frase di Bahasa Jawa yaitu eling lan waspada-ingat dan sadar. Menurut KBBI, kondisi eling adalah berpikiran sehat, bijaksana dan ingat akan Tuhan Yang Maha Esa. Endraswara (2016) melanjutkan, kondisi eling merupakan kondisi yang dicapai ketika kita berada di dalam kondisi hening, tenang, diam dan penuh kepekaan. Kondisi ini memungkinkan kita untuk merespon stimulus dengan lebih bijaksana karena kita mampu melihat permasalahan dengan lebih jelas.
Untuk menutup tulisan saya yang sudah ngalur ngidul, ijinkan saya mengutip lagu Barasuara yang berjudul Taifun:
“Saat kau menerima dirimu dan berdamai dengan itu
Kau menari dengan waktu tanpa ragu yang membelenggu”
Selamat menemui diri…
JG
Motivasi & Inspirasi lainnya
- CALM DOWN, BUKAN LOCKDOWN
- BISNIS PERTANIAN DI ERA DISRUPSI
- HARUSKAH SAYA DATANG KE PSIKOLOG?
- UMKM DAN DIGITALISASI
- PENGEMBANGAN KARAKTER SDM & ORGANISASI DI MASA PANDEMI
- BUDIDAYA TANAMAN KOPI (EDISI 1)
- BIDANG HUKUM & ADVOKASI SERENITY
- ANAK DAN GADGET (BAGIAN I) KETIKA GADGET DINILAI “AMPUH” MENJADI “PENGASUH”
- RUMAH MOTIVASI & INSPIRASI SERENITY
- APA ITU UMKM?
- MODAL USAHA UMKM
- PANDEMI COVID-19 dan “BUSINESS TRANSFORMATION”
- WASPADA STRESS PANDEMI DI LINGKUNGAN KERJA
- BUDIDAYA TANAMAN KOPI (EDISI 2)
- INDIVIDUAL VALUES
- ANAK & GADGET (BAGIAN II) - KESEMPATAN ATAU ANCAMAN?
- SOLUSI DALAM SETIAP MASALAH (BAGIAN 1)
- SOLUSI DALAM MENGATASI MASALAH (BAGIAN 2)
- SOLUSI DALAM MENGATASI MASALAH (BAGIAN 3)
- MENATAP 2022